Rabu, 05 Juni 2013

mitos perkawinan laki-laki sunda dengan perempuan jawa


Kadangkala, kejadian-kejadian di masa lalu seringkali dijadikan sebuah pembenaran untuk memelihara sentiment-sentimen rasial, meskipun sulit ditemukan relevansinya saat ini. Salah satunya adalah Perang Bubat yang terjadi sekitar 7 abad yang lalu (tepatnya tahun 1279 M). Peristiwa yang membawa trauma yang mendalam bagi keluarga kerajaan Galuh, karena seluruh anggota keluarga kerajaan, mulai dari Prabu Linggabuana dan permaisuri Lara Linsing, serta putrinya yang cantik jelita (khas tanah Parahiyangan) Dyah Pitaloka Citraresmi, terbantai di Palagan Bubat. Peristiwa yang telah lama berlalu sebenarnya, tetapi melahirkan banyak mitos seputar hubungan Sunda dan Jawa, sampai saat ini. Banyak pendapat yang sudah membantah bahwa peristiwa itu sudah tidak banyak memberikan dampak pada hubungan Jawa dan Sunda dewasa ini. Tetapi beberapa indikasi masih menunjukkan ketegangan hubungan ini, seperti misalnya tiadanya nama-nama yang berbau Jawa (Majapahit) yang digunakan sebagai nama jalan di tanah Parahiyangan/Pasundan (baru-baru ini ada informasi bahwa di Cimahi ada Jl. Gadjah Mada), atau adanya mitos yang melarang laki-laki/perempuan Sunda untuk menikah dengan orang Jawa. Dalam suatu seminar di Universitas Padjajaran belum lama ini, yang membahas novel Gajah Mada: Perang Bubat karangan Langit Kresna Hariadi, ketegangan yang sama kembali muncul. Ini membuktikan bahwa ketegangan itu masih belum dapat cair seutuhnya. Jika saja mau melihat lebih jauh sejarah ke belakang, dan kemudian diteliti kembali untuk mencari persamaan-persamaan antara dua kebudayaan yang sebenarnya masih saudara tersebut, semestinya Palagan Bubat tidak menjadikan dua saudara bersitegang (untuk jangka waktu yang lama). Sejarah dimulai ketika pendiri kerajaan Galuh, Sang Wretikandayun (612 M) memisahkan diri dari kerajaan Tarumanegara yang memang sudah lemah dibawah pemerintahan Prabu Tarusbawa (yang selanjutnya mengganti nama kerajaan Tarumanegara menjadi kerajaan Sunda yang berkedudukan di Pakuan –Bogor sekarang). Sang Wretikandayun memiliki tiga orang putra, salah satu diantaranya adalah Amara alias Sang Mandiminyak. Sang Mandiminyak memiliki dua orang istri. Dari istri pertama (Pohaci Rababu) memiliki putra bernama Sena (Bratasenawa), sedang dari istri kedua (Dewi Parwati putri Kartikayesinga penguasa Kalingga – Jawa Tengah) memiliki putri bernama Sannaha. Oleh Ratu Sima (istri Kartikayesinga), Sena dan Sannaha, yang masih saudara kandung tersebut, dikawinkan. Dari perkawinan keduanya lahir Sanjaya yang kemudian terkenal sebagai pendiri wangsa Sanjaya yang berkuasa di tanah Jawa (taraju Jawadwipa), yang selanjutnya menjadi penguasa tunggal Bumi Mataram (Hindu). Sebelum menjadi penguasa Mataram, Sanjaya juga menjadi raja di kerajaan Sunda Pakuan dan kerajaan Sunda Galuh. Inilah hubungan kekerabatan (dekat) pertama antara tanah Pasundan dan Jawa. Bagaimana dengan Majapahit ? Penguasa Majapahit adalah wangsa Rajasa yang didirikan oleh Ken Arok (Awuku Tumapel). Pendiri Wilwatikta adalah Rakian (Rakean=Rahadian=Raden) Wijaya. Ibunda Raden Wijaya adalah Dyah Lembu Tal (Dyah Daramurti) dari Tumapel dari suami keluarga kerajaan Sunda, Rahiyang Jayadarma. Bahkan ketika Raden Wijaya menjadi Maharaja Majapahit yang bergelar Sri Kertarajasa Jayawardhana dengan kekuasaan yang besar, masih sering mengunjungi kakeknya, Prabu Guru Darmasiksa di Sunda Pakuan. Dalam kunjungan tersebut, Prabu Guru Darmasiksa pernah memberikan nasehat kepada Sanggramawijaya (gelar Raden Wijaya) : Hawya ta sira kedo athawamerep ngalindih Bhumi Sunda mapan wus kinaliran ring ki sanak ira dlaha yan ngku wus angemasi. Hetunya nagaramu wus agheng jaya santosa wruh ngwang kottaman ri puyut katisayan mwang jayacatrumu, ngke pinaka mahaprabhu. Ika hana ta daksina sakeng Hiyang Tunggal mwang dumadi sarataya. Ikang sayogyanya rajya Jawa lawan rajya Sunda parasparo pasarpana atuntunan tangan silih asih pantara ning padudulur. Yatanyan tan pratibandeng nyakrawartti rajya sowangsowang. Yatanyan siddha hitasukha. Yan rajya Sunda dukhantara, Wilwatikta sakopayanya maweh carana; mangkana juga rajya Sunda ring Wilwatikta. (Jangan hendaknya engkau mengganggu, menyerang, dan merebut Bumi Sunda karena telah diwariskan kepada saudaramu, bila kelak aku telah tiada. Sekalipun negaramu telah menjadi besar dan jaya serta sentosa, aku maklum akan keutamaan, keluarbiasaan, dan keperkasaanmu kelak sebagai raja besar. Ini adalah anugerah dari Yang Maha Esa dan menjadi suratan-Nya. Sudah selayaknya kerajaan Jawa dengan kerajaan Sunda saling membantu, bekerja sama dan saling mengasihi antara anggota keluarga. Karena itu janganlah berselisih dalam memerintah kerajaan masing-masing. Bila demikian akanmencapai keselamatan dan kebahagiaan yang sempurna. Bila kerajaan Sunda mendapat kesusahan, Majapahit hendaknya berupaya sungguh-sungguh memberikan bantuan; demikian pula halnya kerajaan Sunda kepada Majapahit) (Danasasmita, 1983:23) Terlihat bahwa sebenarnya antara kerajaan Sunda dan Jawa (baca: Majapahit) terjalin hubungan yang demikian erat, dari satu leluhur yang seharusnya tercipta hubungan yang harmonis dan saling kerjasama antara keduanya. Bukannya ketegangan dan permusuhan. Perkara perang Bubat adalah persoalan politik, yang memang tidak seharusnya masuk lebih jauh dalam ranah kebudayaan dan kemanusiaan secara umum. Semestinya Perang Bubat dapat dilihat seperti kita melihat peristiwa-peristiwa politik yang terjadi di negeri ini, meskipun mungkin menyakitkan tetapi tidak seharusnya itu menghancurkan hubungan persaudaraan yang telah berlangsung berabad-abad. Kalau kita mau jujur melihat persamaan-persamaan yang ada pada dua kebudayaan tersebut, seperti linguistik, seni, budaya, dan hasil-hasil peradaban antara dua kebudayaan, mestinya hal tersebut dapat lebih saling mempererat hubungan antar-keduanya.from http://chintoenx.multiply.com/journal/item/3/Jawa_dan_Sunda_lagi
Perempuan itu dinikahi karena empat hal: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, atau karena agamanya. Pilihlah berdasarkan agamanya agar engkau beruntung”. (HR. Bukhari dan Muslim) “Sesungguhnya dunia seluruhnya adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah perempuan shalihah”. (HR. Muslim, Nasa’I, Ibnu Majah, Ahmad, dan yang lainnya) Pernahkah anda mendengar bahwa orang Sunda dilarang menikah dengan orang Jawa atau sebaliknya? Ternyata hal itu hingga ini masih dipercaya oleh sebagian masyarakat kita. Lalu apa sebabnya? Mitos tersebut hingga kini masih dipegang teguh beberapa gelintir orang. Tidak bahagia, melarat, tidak langgeng dan hal yang tidak baik bakal menimpa orang yang melanggar mitos tersebut. Lalu mengapa orang Sunda dan Jawa dilarang menikah dan membina rumah tangga. Tidak ada literatur yang menuliskan tentang asal muasal mitos larang perkawinan itu. Namun mitos itu diduga akibat dari tragedi perang Bubat. Peristiwa Perang Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit, yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu, bernama Sungging Prabangkara. Hayam Wuruk memang berniat memperistri Dyah Pitaloka dengan didorong alasan politik, yaitu untuk mengikat persekutuan dengan Negeri Sunda. Atas restu dari keluarga kerajaan Majapahit, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar Dyah Pitaloka. Upacara pernikahan rencananya akan dilangsungkan di Majapahit. Maharaja Linggabuana lalu berangkat bersama rombongan Sunda ke Majapahit dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat. Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit. Menurut Kidung Sundayana, timbul niat Mahapatih Gajah Mada untuk menguasai Kerajaan Sunda. Gajah Mada ingin memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta, sebab dari berbagai kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan Majapahit, hanya kerajaan Sunda lah yang belum dikuasai. Dengan maksud tersebut, Gajah Mada membuat alasan oleh untuk menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat adalah bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit. Gajah Mada mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri disebutkan bimbang atas permasalahan tersebut, mengingat Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu. Versi lain menyebut bahwa Raja Hayam Wuruk ternyata sejak kecil sudah dijodohkan dengan adik sepupunya Putri Sekartaji atau Hindu Dewi. Sehingga Hayam Wuruk harus menikahi Hindu Dewi sedangkan Dyah Pitaloka hanya dianggap tanda takluk. "Soal pernikahan itu, teori saya tentang Gajah Mada, Gajah Mada tidak bersalah. Gajah Mada hanya melaksanakan titah sang raja. Gajah Mada hendak menjodohkan Hayam Wuruk dengan Diah Pitaloka. Gajah mada Ingin sekali untuk menyatukan antara Raja Sunda dan Raja Jawa lalu bergabung. Indah sekali," tegas sejarawan sekaligus arkeolog Universitas Indonesia (UI) Agus Aris Munandar. Hal ini dia sampaikan dalam seminar Borobudur Writers & Cultural Festival 2012 bertemakan; 'Kontroversi Gajah Mada Dalam Perspektif Fiksi dan Sejarah' di Manohara Hotel, Kompleks Taman Wisata Candi Borobudur, Magelang, Jateng, Selasa (30/10). Pihak Pajajaran tidak terima bila kedatangannya ke Majapahit hanya menyerahkan Dyah Pitaloka sebagai taklukan. Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada. Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula. Belum lagi Hayam Wuruk memberikan putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukan Bhayangkara ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu. Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar, melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Raja Linggabuana, para menteri, pejabat kerajaan beserta segenap keluarga kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat. Tradisi menyebutkan sang Putri Dyah Pitaloka dengan hati berduka melakukan bela pati atau bunuh diri untuk membela kehormatan bangsa dan negaranya. Menurut tata perilaku dan nilai-nilai kasta ksatria, tindakan bunuh diri ritual dilakukan oleh para perempuan kasta tersebut jika kaum laki-lakinya telah gugur. Perbuatan itu diharapkan dapat membela harga diri sekaligus untuk melindungi kesucian mereka, yaitu menghadapi kemungkinan dipermalukan karena pemerkosaan, penganiayaan, atau diperbudak. Hayam Wuruk pun kemudian meratapi kematian Dyah Pitaloka. Akibat peristiwa Bubat ini, bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri menghadapi tentangan, kecurigaan, dan kecaman dari pihak pejabat dan bangsawan Majapahit, karena tindakannya dianggap ceroboh dan gegabah. Mahapatih Gajah Mada dianggap terlalu berani dan lancang dengan tidak mengindahkan keinginan dan perasaan sang Mahkota, Raja Hayam Wuruk sendiri. Tragedi perang Bubat juga merusak hubungan kenegaraan antar Majapahit dan Pajajaran atau Sunda dan terus berlangsung hingga bertahun-tahun kemudian. Hubungan Sunda-Majapahit tidak pernah pulih seperti sedia kala. Pangeran Niskalawastu Kancana, adik Putri Dyah Pitaloka yang tetap tinggal di istana Kawali dan tidak ikut ke Majapahit mengiringi keluarganya karena saat itu masih terlalu kecil dan menjadi satu-satunya keturunan Raja yang masih hidup dan kemudian akan naik takhta menjadi Prabu Niskalawastu Kancana. Kebijakan Prabu Niskalawastu Kancana antara lain memutuskan hubungan diplomatik dengan Majapahit dan menerapkan isolasi terbatas dalam hubungan kenegaraan antar kedua kerajaan. Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan larangan estri ti luaran (beristri dari luar), yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak Majapahit. Peraturan ini kemudian ditafsirkan lebih luas sebagai larangan bagi orang Sunda untuk menikahi orang Jawa. Tindakan keberanian dan keperwiraan Raja Sunda dan putri Dyah Pitaloka untuk melakukan tindakan bela pati (berani mati) dihormati dan dimuliakan oleh rakyat Sunda dan dianggap sebagai teladan. Raja Lingga Buana dijuluki 'Prabu Wangi' (bahasa Sunda: raja yang harum namanya) karena kepahlawanannya membela harga diri negaranya. Keturunannya, raja-raja Sunda kemudian dijuluki Siliwangi yang berasal dari kata Silih Wangi yang berarti pengganti, pewaris atau penerus Prabu Wangi. Beberapa reaksi tersebut mencerminkan kekecewaan dan kemarahan masyarakat Sunda kepada Majapahit, sebuah sentimen yang kemudian berkembang menjadi semacam rasa persaingan dan permusuhan antara suku Sunda dan Jawa yang dalam beberapa hal masih tersisa hingga kini. Antara lain, tidak seperti kota-kota lain di Indonesia, di kota Bandung, ibu kota Jawa Barat sekaligus pusat budaya Sunda, tidak ditemukan jalan bernama 'Gajah Mada' atau 'Majapahit'. Meskipun Gajah Mada dianggap sebagai tokoh pahlawan nasional Indonesia, kebanyakan rakyat Sunda menganggapnya tidak pantas akibat tindakannya yang dianggap tidak terpuji dalam tragedi ini